Jumat, 27 April 2012
Kata-kata bijak - 3
Mereka berusaha melarikan diri dari kesalahan masa lalunya, dan membayarnya dengan mengorbankan kedamaiannya hari ini.
Sesungguhnya, lebih baik bagi kita untuk segera berdamai dengan kesalahan masa lalu kita, agar kita bisa segera hidup dalam kedamaian hari ini.
kata-kata bijak - 2
Bersaing dengan sahabat itu wajar, tetapi harus tetap saling menghormati, menghargai, dan mendukung, bukan saling menjatuhkan.
Daripada terus memikirkan apa yang telah hilang dalam hidupmu, lebih baik bersyukur atas apa yang masih kamu miliki tapi tak dimiliki orang lain.
Diam Bukanlah kelemahan, jika di iringi dengan perbuatan dan hasil nyata.
Impian tinggallah impian jka tidak selaras dengan kemampuan.
Hidup tidak akan pernah adil, sampai kamu mengerti bahwa tiap orang berbeda dengan keistimewaannya sendiri.
Hati-hati dalam berucap, karena mungkin akan ada orang yang tersakiti. Dan ketika hati dilukai, mungkin permintaan maafmu tak akan berarti
Daripada terus memikirkan apa yang telah hilang dalam hidupmu, lebih baik bersyukur atas apa yang masih kamu miliki tapi tak dimiliki orang lain.
Diam Bukanlah kelemahan, jika di iringi dengan perbuatan dan hasil nyata.
Impian tinggallah impian jka tidak selaras dengan kemampuan.
Hidup tidak akan pernah adil, sampai kamu mengerti bahwa tiap orang berbeda dengan keistimewaannya sendiri.
Hati-hati dalam berucap, karena mungkin akan ada orang yang tersakiti. Dan ketika hati dilukai, mungkin permintaan maafmu tak akan berarti
Laporan PPEH (praktik pengenalan ekosistem hutan) tahun 2011 di Gunung Papandayan dan Sancang timur
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki hutan terluas di dunia. Indonesia juga merupakan negara megebiodiversity.
Hutan yang terdapat di Indonesia sebagian besar adalah
hutan hujan tropis
yang komposisinya sangat beragam, baik jenis kehidupan yang
ada di dalamnya maupun jenis interaksi yang terdapat di
dalamnya. Hal tersebut disebabkan
karena tipe iklim dan ekosistem di Indonesia di pengaruhi oleh dua benua dan
dua samudera. Sehingga komposisi hutan di Indonesia di pengaruhi oleh dua
benua, hutan di wilayah bagian barat Indonesia di pengaruhi oleh benua Asia,
sedangkan hutan wilayah timur Indonesia di pengaruhi oleh benua Australia.
Dengan beragamnya komposisi hutan di Indonesia dapat diambil berbagai manfaat dan keuntungan dari hutan melalui pengelolaan serta
pemanfaatan yang bijaksana. Pemanfaatan yang dilakukan harus tetap
memperhatikan nilai-nilai baik dari segi ekologis, ekonomis, maupun dari segi
sosial. Dalam menentukan langkah pengelolaan yang tepat terhadap suatu kawasan
hutan maka terlebih dahulu pengelolan harus mengetahui karakteristik hutan yang dikelolanya.
Melalui
Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) yang diselenggarakan oleh Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor diharapkan mahasiswa memiliki kemampuan
untuk mengindentifikasi serta mengamati karakteristik berbagai tipe-tipe hutan
yang ada di Indonesia serta pengelolaannya. Berbagai masalah yang timbul juga
dapat dikaji sehingga mahasiswa mampu menganalisa permasalahannya tersebut dan
menjadikan hutan Indonesia tetap lestari.
B. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan Praktek Pengenalan
Ekosistem Hutan (PPEH) adalah agar mahasiwa :
1.
Mengenali tipe-tipe ekosistem hutan beserta komponen-komponen
penyusunannya, dari hutan pantai hingga hutan pegunungan
2.
Mengidentifikasi dan mengukur parameter dari komponen ekosistem (biotik dan abiotik) di setiap tipe hutan.
3.
Mempelajari perilaku, interaksi, peranan, dan fungsi
setiap tipe ekosistem hutan bagi kehidupan.
4.
Mempelajari
interaksi antara komponen biotik dengan biotik, biotik dengan abiotik dan
abiotik dengan abiotik.
5.
Mampu menjelaskan tipe-tipe
ekosistem hutan beserta komponen, interaksi, proses-proses, peranan, dan fungsi
setiap ekosistem hutan di Indonesia.
BAB II
METODOLOGI
A. Tanah dan Iklim
1.
Lokasi dan Waktu
a.
Lokasi : Hutan Pegunungan Bawah - Papandayan
Waktu : Selasa, 12 Juli 2011
b.
Lokasi : Hutan Tanaman Pinus - Papandayan
Waktu : Selasa, 12 Juli 2011
c.
Lokasi : Padang
Rumput, Padang Edelweis - Papandayan
Waktu : Rabu, 13 Juli 2011
d. Lokasi : Hutan Cantigi – Papandayan
Waktu
: Rabu, 13 Juli 2011
e. Lokasi : Hutan Primer Pegunungan Tengah –
Papandayan
Waktu
: Kamis, 14 Juli 2011
f.
Lokasi : Hutan Pantai – Sancang Timur
Waktu : Minggu, 17 Juli 2011
g.
Lokasi : Hutan Mangrove – Sancang Timur
Waktu : Senin, 18 Juli 2011
h.
Lokasi : Hutan Sekunder GNRLH – Sancang Timur
Waktu : Senin, 18 Juli
2011
i.
Lokasi : Hutan Dataran Rendah – Sancang Timur
Waktu : Selasa, 19 Juli 2011
2.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data menggunakan :
a.
Tanah : 1. Pembuatan Plot
-
Dibuat pada setiap tipe hutan dan ekosistem yang diamati dari hutan pengunungan hingga hutan pantai dan
hutan mangrove.
-
Dibuat plot sampel pada transek
pengamatan vegetasi (satu plot sampel pada petak pengamatan vegetasi ukuran 20
m x 20 m).
2. Solum Tanah
-
Dibuat irisan melintang pada tebing yang di temukan, jika tidak ditemukan tebing
maka lakukan penggalian.
-
Solum tanah dideskripsikan dan tebal setiap lapisan tanah diukur (tebal lapisan O, A,dan B).
3. Struktur tanah
-
Diambil bongkahan tanah seberat
500-1000 gram secara acak pada
setiap petak 20 m x 20 m dengan kedalama 20 cm.
-
Bongkahan tanah dihancurkan dengan
melempar-lemparkannya setinggi 25-30 cm,
sampai terbentuk bongkahan terkecil.
-
Amati pada bongkahan tersebut bentuk agregat tanah terkecil.
4. Tekstur
Tanah
-
Ambil
segenggam tanah dari sempel yang di ambil.
-
Penentuan tekstur berpedoman pada
kunci determinasi penentuan tekstur tanah.
-
Sampel tanah harus lembab dengan
cara membasahinya sedikit sampai lengket atau meniriskan sebentar pada lahan
miring bagi tanah yang terlalu basah
-
Dalam pembuatan silinder, tanah
digulung-gulungkan pada permukaan yang licin dan halus.
5. Kematangan
Tanah
-
Sampel tanah diambil sebesar telur
ayam kapung, kemudian digenggam di
telapak tangan, hitung presentase tanah yang keluar dari
sela jari apabila diremas. Penentuan kematangan tanah langsung di lapangan
sesuai tabel ( dilakukan hanya
pada hutan mangrove).
6. Sifat Kimia Tanah (pH dan KTK tanah)
-
pH tanah ditentukan dengan
mengambil contoh tanah dari sempel
yang
tersedia, kemudia masukkan ke dalam botol film dan
diencerkan, lalu dikocok selama sepuluh menit. Tanah didiamkan selama beberapa menit hingga air kembali menjerni. Kertas indikator
dimasukkan pada bagian air selama satu menit, angkat, lalu tentukan pH melalui mencocokkan kertas indicator pada
Indikator pH yang tersedia.
-
KTK tanah ditentukan dengan metode
kocok-endap. Contoh tanah dimasukkan ke dalam botol plastik bening yang telah
diisi air seperlunya
(perbaandingan tanah dengan air adalah 1:7 ). Tanah dan
air dikocok selama lima menit. Suspensi tersebut diamati, apabila larutan
tersebut dapat jernih dalam waktu kurang dari satu jam, maka KTK tanah tersebut
rendah; 1-24 jam maka KTK tanah tersebut sedang; >24 jam, maka KTK tanah tersebut
tinggi.
7. Warna Tanah
-
Disiapkan segumpal massa tanah
dengan ukuran diameter kurang lebih 5 cm.
-
Massa tanah dibasahi (jika kering)
dan dilumatkan sehingga aneka warna penyusunnya menyatu.
-
Massa tanah yang telah dibentuk
tersebut diletakkan di ujung jari tengah dan jari telunjuk yang dijajarkan
rapat.
-
Cocokkan contoh pada jari-jari tangan pada
buku Munsell soil colour Chart.
Dengan cara ditempatkan di belakang lapisan plastik
pelindung yang dihimpitkan pada halaman warna dengan hue terpilih.
-
warna serta notasi warna tanah
dicatat sesuai dengan susunan nama warna (hue/value/chroma)
b.
Iklim : Pengukuran suhu dan kelembaban pada berbagai tipe hutan.
-
Sediakan
dua thermometer, salah satu ujuang thermometer dililitkan/diiikatkan kain kassa
dan dibasahkan. (thermometer berkain kassa basah sebagai thermometer basah,
sedangkan yang dibiarkan sebagai thermometer kering).
-
Kedua termometer tersebut digantungkan di ketinggian kurang lebih 150 cm di setiap ekosistem yang diamati.
-
Termometer ditempatkan di tempat
yang tidak terkena matahari secara langsung.
-
Pengukuran setiap 10 menit selama
30 meit dengan pembacaan oleh tiga orang yang berbeda (untuk pembacaan termometer waktu nol menit di
lakuakan setelah 5 menit penggantungan thermometer).
-
Digunakan tabel RH untuk
kelembaban udara.
-
Dibuat grafik hubungan antara suhu
dengan RH.
3.
Analisa Data
• Tebal Solum :
Horizon O + Horizon A + Horizon B
• Tekstur tanah :
Gambar kunci determinasi
• Struktur tanah :
Gambar bentuk struktur tanah
• Warna tanah : Buku
Munsell, Soil Color Charts (hue value/chroma)
• pH :
pH indikator
• TBK T (oC) :
Suhu kering
• TBB T (oC) :
Suhu Basah
• T (oC) :
TBK
• ∆oC :TBB
- TBK
• RH :
Tabel kelembaban relatif
B. Vegetasi
1.
Lokasi dan Waktu
a.
Lokasi : Hutan Pegunungan Bawah - Papandayan
Waktu : Selasa, 12 Juli 2011
b.
Lokasi : Hutan Tanaman Pinus - Papandayan
Waktu : Selasa, 12 Juli 2011
c.
Lokasi : Padang
Rumput, Padang Edelweis - Papandayan
Waktu : Rabu, 13 Juli 2011
d. Lokasi : Hutan Cantigi – Papandayan
Waktu
: Rabu, 13 Juli 2011
e. Lokasi : Hutan Primer Pegunungan Tengah –
Papandayan
Waktu
: Kamis, 14 Juli 2011
f.
Lokasi : Hutan Pantai – Sancang Timur
Waktu : Minggu, 17 Juli 2011
g.
Lokasi : Hutan Mangrove – Sancang Timur
Waktu : Senin, 18 Juli 2011
h.
Lokasi : Hutan Sekunder GNRLH – Sancang Timur
Waktu : Senin, 18 Juli
2011
i.
Lokasi : Hutan Dataran Rendah – Sancang Timur
Waktu : Selasa, 19 Juli 2011
2.
Pengumpulan Data
a.
Analisis dengan jalur berpetak
(hutan alam) dan berbentuk plot lingkaran (hutan tanaman Pinus
merkusii)
b.
Petak contoh hutan alam selain mangrove berukuran minimal 20 m x 20 m/ plot (panjang jalur sesuai kebutuhan pengamatan) dan dibagi menjadi sub petak :
-
2 m x 2 m untuk semai
-
5 m x 5 m untuk pancang, liana, epifit, pandan, dan palem.
-
10 m x 10 m untuk tiang
-
20 m x 20 m untuk pohon
Gambar 1. Bentuk petak ukur pada metode jalur berpetak
untuk analisis
vegetasi di hutan alam selain mangrove
c.
Petak contoh hutan mangrove
berukuran minimal 10 m x 10 petak ukur (panjang
jalur sesuai kebutuhan pengamatan).
Gambar 2. Bentuk petak ukur pada metode jalur berpetak
untuk
analisis vegetasi
di hutan mangrove
d.
Untuk hutan tanaman Pinus
merkusii, petak berbentuk lingkaran seluas 0,1 Ha
(jari-jari 17,84m), petak pengamatan tumbuhan bawah berupa kotak dengan ukuran
2 m x 2 m dan berjarak 10 m dari titik pusat.
Plot untuk tumbuhan bawah
Gambar 3. Bentuk petak contoh untuk analisis vegetasi di
hutan tanaman
e.
Diameter, tinggi total, tinggi
bebas cabang, (strata tiang dan pohon) diukur.
f.
Nama jenis keseluruhan ditulis.
g.
Ditentukan satu petak yang paling
mewakili untuk membuat profil hutan. Koordinat (x,y), tebal tajuk, bentuk
tajuk, serta proyeksi tajuk dari seluruh kategori tiang dan pohon (diameter ≥ 10 cm)
dicatat. Khusus untuk hutan mangrove, tidak terdapat kategoti tiang tetapi diameter ≥ 10 cm sudah termasuk
kategori pohon.
3.
Analisis data
• Kerapatan (K) : Jumlah individu dari
suatu jenis (Ind)
Luas plot (Ha)
• Kerapatan Relatif (KR) : Kerapatan dari suatu jenis x 100%
Kerapatan
seluruh jenis
• Dominansi (D) : Jumlah luas bidang dasar
(cm2)
Luas Plot (Ha)
• Dominansi Relatif (DR) : Dominansi dari suatu jenis x 100%
Dominansi
seluruh jenis
• Frekuensi (F) :
Jumlah plot ditemukannya suatu jenis
Jumlah seluruh plot
• Frekuensi Relatif (FR) : Frekuensi dari suatu jenis x 100%
Frekuensi
seluruh jenis
• Indeks Nilai Penting Tiang
dan Pohon (INP) :
KR + FR + DR
· Indeks Nilai Penting tumbuhan bawah, pancang,
semai, liana, epifit, palem, pandang (INP) : KR + FR
· Indeks Kekayaan Jenis ( R ) : (S-1)/N
· Indeks Kelimpahan Jenis (H’) : -∑(ni/N)ln(ni/N)
· Indeks Kemeretaan (E) : H’/ln S
· Dominasi : ∑(ni/N)2
Keterangan :
S : jumlah jenis/spesies yang di temukan
N : jumlah total seluruh individu yang
ditemukan/Ha
ni : jumlah total
individu/spesies/Ha
C. Satwa Liar
1.
Lokasi dan Waktu
a.
Lokasi : Hutan Pegunungan Bawah - Papandayan
Waktu : Selasa, 12 Juli 2011
b.
Lokasi : Hutan Tanaman Pinus - Papandayan
Waktu : Selasa, 12 Juli 2011
c.
Lokasi : Padang
Rumput, Padang Edelweis - Papandayan
Waktu : Rabu, 13 Juli 2011
d. Lokasi : Hutan Cantigi – Papandayan
Waktu
: Rabu, 13 Juli 2011
e. Lokasi : Hutan Primer Pegunungan Tengah –
Papandayan
Waktu
: Kamis, 14 Juli 2011
f.
Lokasi : Hutan Pantai – Sancang Timur
Waktu : Minggu, 17 Juli 2011
g.
Lokasi : Hutan Mangrove – Sancang Timur
Waktu : Senin, 18 Juli 2011
h.
Lokasi : Hutan Sekunder GNRLH – Sancang Timur
Waktu : Senin, 18 Juli
2011
i.
Lokasi : Hutan Dataran Rendah – Sancang Timur
Waktu : Selasa, 19 Juli 2011
2.
Pengumpulan data
Digunakan metode jalur (transek) dan pengamatan secara langsung dalam
plot contoh dan sekitar plot contoh pengamatan serta melakukan pengamatan sepanjang perjalanan menuju lokasi
pengamatan vegetasi.
3.
Analisis data
Ciri morfologi, jumlah, lokasi ditemukan, aktivitas, dan keterangan
lain dicatat.
BAB III
HASIL PRAKTEK PENGAMATAN SETIAP
TIPE EKOSISTEM HUTAN
- Hutan Mangrove
- Deskripsi Kondisi Umum
Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove
atau hutan air payau adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai
dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh
khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan
akumulasi bahan organik atau sering disebut tanah alluvial. Hutan mangrove tumbuh dan berkembang pada
daerah pasang surut yang terhindar dari terjangan ombak secara lansung, serta
juga terdapat pada teluk atau muara sungai yang aliran airnya melambat serta
banyak terdapat banyak endapan tanah yang berasal dari erosi tanah yang berasal
dari hulu sungai (tanah Alluvial). Ekosistem hutan bakau
bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran sehingga tanahnya bersifat massif yang mengakibatkan
kurangnya aerasi tanah, salinitas atau
kadar garam tanahnya yang tinggi, serta mengalami daur
penggenangan air sesuai daur pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup
di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau
karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.
Menghadapi lingkungan yang ekstrim di hutan bakau, tumbuhan beradaptasi
dengan berbagai cara. Secara fisik, kebanyakan vegetasi
mangrove menumbuhkan organ khas untuk bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar
dan kelenjar garam
di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasi fisiologis.
Pohon-pohon bakau (Rhizophora spp.), yang biasanya
tumbuh di zona terluar, mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk
bertahan dari ganasnya gelombang. Pada pihak yang lain, mengingat sukarnya
memperoleh air tawar, vegetasi mangrove harus berupaya mempertahankan kandungan
air di dalam tubuhnya. Padahal lingkungan lautan tropika yang panas mendorong
tingginya penguapan. Beberapa jenis tumbuhan hutan bakau mampu mengatur bukaan
mulut daun (stomata) dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik,
sehingga mengurangi evaporasi dari daun. Adaptasi lain yang penting diperlihatkan
dalam hal perkembang biakan jenis. Lingkungan yang keras di hutan bakau hampir
tidak memungkinkan jenis biji-bijian berkecambah dengan normal di atas
lumpurnya. Jadi biji-bijian yang
dapat berkembang di hutan mangrove ini adalah biji yang telah berkecambah
sebelum jatuh ke tanah (Vivipary). Selain kondisi kimiawinya yang ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur
dan pasang-surut air laut membuat biji sukar mempertahankan daya hidupnya.
Praktek pengenalan hutan mangrove dilakukan di Cagar Alam Sancang Timur,
BKSDA Sancang Timur, Kabupaten
Garut, Jawa Barat. Pada hutan mangrove CA
Sancang Timur di dominasi oleh tumbuhan bakau (Rhizophora spp). Pada hutan mangrove CA Sancang timur ini terdapat
jenis yang mulai langkah, yaitu jenis Kaboa. Hal ini disebabkan masyarakat
sekitar CA Sancang Timur mengumpulkan kayu kaboa sebagai kayu bakar. Kayu Kaboa
diburu masyarakat karena, panas yang dihasilkan dari pembakaran kayu Kaboa
lebih tinggi dari pada kayu lain pada umumnya, serta dipercaya kandungan tannin
yang terdapat pada kayu Kaboa dapat meningkatkan rasa makanan.
Gambar 4. Hutan Mangrove Sancang Timur
- Hasil Pengamatan Tanah dan Iklim
2.a. Iklim
Hutan mangrove merupakan jenis hutan yang dipengaruhi oleh pasang surut air
laut. Dari pengamatan yang
dilakukan di hutan Mangrove Cagar alam Leuweung Sancang, Sancang Timur. Didapatkan hasil pengukuran suhu dan kelembaban sebagai grafik berikut:
Gambar 5. Gambar Fluktuasi Suhu di
Hutan Mangrove
Gambar 6. Gambar Fluktuasi
Kelembaban Relatif Hutan Mangrove
2.b. Tanah
Hutan mangrove ini memiliki jenis tanah aluvial dengan topografi
yang datar.
Pengamatan
sifat-sifat tanah dilakukan pada plot satu dan plot dua. Hasil pengamatannya
adalah :
-
Plot 1 : Solum tana tidak teridentifikasi, karena volume air terlalu tinggi.
Tanahnya merupakan tanah jenis alluvial dan tidak berstruktur. Warna tanah 10YR 6/2 (light brownish grey), dan pH tanah
sebesar 6. Tekstur tanah pasir
berlempung dan memiliki KTK tanah rendah, serta tingkat kematangan tanahnya masih
tergolong setengah matang.
-
Plot 2 : Solum tanah tidak teridentifikasi karena
keadaan tanah yang tidak memungkinkan. Tanahnya berjenis alluvial dan juga
tidak berstruktur karena kandungan air yang sangat tinggi. Warna tanah adalah 10 YR 3/2 ( very dark greyish brown), dan pH tanah sebesar 6. Tekstur tanah berupa lempung pasiran. Kematangan tanah hampir tidak matang dan KTK tanah rendah.
- Hasil Pengamatan Vegetasi
Pada pengamatan vegetasi di hutan mangrove ini dibuat dua petak contoh untuk setiap tingkat pengamatan, khusus untuk hutan mangrove tumbuhan
berdiameter diatas 10 cm termasuk tingkat pohon. Jadi, pada hutan mangrove
tidak terdapat tingkat tiang. Pada hutan mangrove yang diamati, terdapat tiga tingkat pemudaan, yaitu semai,
pancang, dan pohon.
Tabel 1. INP Tingkat Semai Hutan Mangrove
No.
|
Nama Jenis
|
INP (%)
|
1
|
Tancang
|
200
|
2
|
|
|
3
|
|
|
Total
|
200
|
Tabel 2. INP Tingkat Pancang Hutan Mangrove
No.
|
Nama Jenis
|
INP (%)
|
1
|
Tancang
|
94.44
|
2
|
Ki Jingkang
|
105.56
|
3
|
|
|
Total
|
200
|
Tabel 3. INP Tingkat Pohon
No.
|
Nama Jenis
|
INP (%)
|
1
|
Bakau
|
85.35
|
2
|
Tancang
|
214.65
|
3
|
|
|
Total
|
300
|
Dari Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3
di atas maka dapat disimpulkan hanya
satu jenis tumbuhan tingkat semai, yaitu jenis Tancang. Pada
tingkat pancang ditemukan dua jenis saja, yaitu Tancang
dengan INP (94.44%), KI jingkang (Rhizophora spp) dengan INP (105.56%). Tingkat pohon, juga hanya ditemukan dua jenis saja, yaitu Ki
jingkang/Bakau (Rhizophora spp)
dengan INP (85.35), dan Tancang dengan INP (214.65%)
Tabel 4. Keanekaragaman Jenis
Vegetasi Hutan Mangrove
No
|
Tingkat Permudaan
|
R
|
H’
|
E
|
C
|
1
|
Semai
|
0
|
0
|
~
|
1
|
2
|
Pancang
|
0.133413
|
0.68696
|
0.99108
|
0.50617
|
3
|
Pohon
|
0.16091
|
0.61086
|
0.88129
|
0.58
|
4
|
|
|
|
|
|
- Hasil Pengamatan Satwa Liar
Kelompok satwa yang ditemukan di hutan mangrove sebagian
besar dari kelompok burung. Namun
pengamatan satwa liar tidak seratus persen dari hutan mangrove tersebut, melainkan
juga di lakukan di sepanjang jalur perjalanan menuju tempat pengamatan. Jenis
burung yang di temukan adalah Cimenen Pisang, Tekukur, Cipoh Kacat, Cangcarang,
Pelatuk semak, Wiwik Kelabu diidentifikasi berdasarkan
suaranya. Jenis Gereja Erasi,
Walet Linchi, Cekakak sungai, Pecuk padi, Cocak Kutilangm, Walik diidentifikasi
saat terbang. Kuntul kecil diidentifikasi saat bertengger sambil sedang makan.
Sedangkan Pelatuk tepi hitam diidentifikasi sedang berjalan di lantai hutan.
Untuk jenis reptile yang di temui
adalah ular air yang bewarna biru dengan gelang hitam, diidentifikasi saat
bergerak. Sedangkan jenis mamalia yang ditemukan adalah Lutung, dan Tupai.
B.
Hutan Pantai
1.
Deskripsi Kondisi Hutan
Hutan pantai sering disebut hutan tanah kering atau hutan kerangas.
Hutan pantai ini sama sekali tidak dikenai pasang-surut air laut. Hutan pantai
ini juga termasuk ekosistem yang khas, selain tumbuh di hamparan pantai namun
tidak dikenai air laut, juga tumbuh pada tanah yang miskin hara.
Solum tanah pada hutan pantai ini sangatlah dangkal, bahkan didominasi
oleh pasir. Sehingga jenis tumbuhan yang hidup di hutan pantai adalah jenis
tumbuhan yang bisa bertahan hidup pada tanah miskin hara dan jangkauan akarnya
dalam. Tumbuhan yang bisa bertahan hidup di hutan pantai adalah jenis Ketapang,
Karet kerbau, Ki buah, Ki bangkang, dan lain-lain.
Pengamatan hutan pantai di lakuakan di huatan pantai Cagar Alam Leuweung
Sancang Timur, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Gambar 7. Hutan Pantai Sancang Timur
2.
Hasil Pengamatan Tanah dan Iklim
2.a. Iklim
Gambar 8. Grafik fluktuasi Suhu di
hutan Pantai Sncang Timur
Gambar 9. Grafik fluktuasi kelembaban relatif hutan
pantai Sancang Timur
2.b. Tanah
Hutan pantai ini memiliki jenis tanah pasir-krangas dengan topografi yang datar.
Pengamatan
sifat-sifat tanah dilakukan pada lima
plot. Hasil pengamatannya adalah :
-
Plot 1 : Solum tanah tidak sedalam 28 cm. Tanahnya merupakan tanah jenis
pasiran-krangas dan tidak berstruktur. Warna tanah 7.5YR 5/4 (Brown), dan pH
tanah sebesar 6. Tekstur tanah
pasir dan memiliki KTK tanah rendah, serta tingkat kematangan tanahnya masih
tergolong matang.
-
Plot 2 : Solum tanah 28 cm. Tanahnya berjenis
pasiran-krangas dan juga tidak berstruktur. Warna tanah adalah 7.5 YR 3/2 (dark
brown), dan pH tanah sebesar 6. Tekstur tanah berupa sand. Kematangan tanah
matang dan KTK tanah sedang.
-
Plot 3 : solum tanah 33 cm. tanah berjenis
pasiran-krangas dan berstruktur granuler. Warna tanah adalah 7.5 YR 4/4 (strong brown), dan pH tanah sebesar 6.
Tekstur tanah berupa Loamy Sand.
Kematangan tanah matang dan KTK tanah sedang.
-
Plot 4 : solum tanah 18 cm. tanah berjenis
pasiran-krangas dan berstruktur granuler. Warna tanah adalah 10 YR 3/3 (dark brown), dan pH tanah sebesar 6.
Tekstur tanah berupa Loamy Sand.
Kematangan tanah matang dan KTK tanah sedang.
-
Plot 5 : solum tanah 18 cm. tanah berjenis
pasiran-krangas dan berstruktur granuler. Warna tanah adalah 10 YR 3/3 (dark brown), dan pH tanah sebesar 6.
Tekstur tanah berupa Loamy Sand.
Kematangan tanah matang dan KTK tanah sedang.
3.
Hasil Pengamatan Vegetasi
Pengamatan yang di lakukan di hutan pantai Leuweung Sancang, resort
sancang timur ini dilakukan dengan 5 plot untuk setiap tingkat pemudaan
vegetasi, yaitu semai dan tumbuhan bawah, pancang, liana, epifit, tiang dan pohon.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, hasil yangh diperoleh adalah sebagai
berikut:
Tabel
5. INP Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah
Hutan Pantai
No
|
Nama Jenis
|
INP (%)
|
|
1
|
Bakung
|
7.793
|
|
2
|
Ki Pahang
|
10.425
|
|
3
|
Ki Balanak
|
14.271
|
|
4
|
Ki Bangkong
|
7.793
|
|
5
|
Nyamplung
|
13.056
|
|
6
|
Borogondolo
|
19.432
|
|
7
|
Lampeni
|
7.793
|
|
8
|
Ki Buah
|
14.271
|
|
9
|
Ata
|
5.161
|
|
10
|
Balung Injuk
|
6.477
|
|
11
|
Drawolong
|
20.849
|
|
12
|
Soka
|
14.271
|
|
13
|
Ipis Kulit
|
14.871
|
|
14
|
Ki Hoe
|
5.161
|
|
15
|
Kiara
|
5.161
|
|
16
|
Arey
|
9.109
|
|
17
|
Semai a
|
10.425
|
|
18
|
Sagu
|
5.161
|
|
19
|
Cambai
|
9.109
|
|
Total
|
199.989
|
Tabel
6. INP Tingkat Pancang Hutan Pantai
No
|
Nama Jenis
|
INP (%)
|
|
1
|
Ketapung
|
13.28
|
|
2
|
Ki Bangbara
|
22.87
|
|
3
|
Ki Bangkong
|
9.58
|
|
4
|
Ki Pahang
|
13.28
|
|
5
|
Ki Balanak
|
9.58
|
|
6
|
Burogondolo
|
13.28
|
|
7
|
Nyumplung
|
22.87
|
|
8
|
Drandong
|
9.58
|
|
9
|
Balung Injuk
|
19.16
|
|
10
|
Ki Dronak
|
20.69
|
|
11
|
Ipis Kulit
|
13.28
|
|
12
|
Ki Hoe
|
13.28
|
|
13
|
Ki Jambu
|
9.58
|
|
14
|
Ki Pancar
|
9.58
|
|
Total
|
199.89
|
Tabel
7. INP Tingkat Epifit Hutan Pantai
No
|
Nama Jenis
|
INP (%)
|
1
|
Cadak Munding
|
200
|
Total
|
200
|
Tabel
8. INP Tingkat Liana Hutan Pantai
No
|
Nama Jenis
|
INP (%)
|
|
1
|
Kecemang
|
67.3
|
|
2
|
Ki Kandel
|
19.86
|
|
3
|
Culangkar
|
19.86
|
|
4
|
Owar
|
12.18
|
|
5
|
Kacang-Kacangan
|
24.36
|
|
6
|
Canar
|
12.18
|
|
7
|
Liana a
|
16.02
|
|
8
|
Secang
|
16.02
|
|
9
|
Ki Bulu
|
12.18
|
|
Total
|
199.96
|
Tabel
9. INP Tingkat Tiang Hutan Pantai
No
|
Nama Jenis
|
INP
|
(%)
|
||
1
|
Ki Balana
|
20.95
|
2
|
Waru Laut
|
31.74
|
3
|
Tengke Ja’a
|
21.4
|
4
|
Ki Buah
|
40.13
|
5
|
Ki Bangkang
|
28.62
|
6
|
Jambu
|
26.91
|
7
|
Ki Pancar
|
27.83
|
8
|
Karet Munding
|
54.7
|
9
|
Ikado
|
47.69
|
Total
|
299.97
|
Tabel
10. INP Tingkat Pohon Hutan Pantai
No
|
Nama Jenis
|
INP
|
(%)
|
||
1
|
Nyamplung
|
49,43
|
2
|
Tengge caah
|
31,80
|
3
|
Ketapang
|
30,52
|
4
|
Ki Jambu
|
52,69
|
5
|
Ki Bangkong
|
18,86
|
6
|
Ki buah
|
12,30
|
7
|
Salam
|
12,36
|
8
|
Mindri
|
15,16
|
9
|
Gadog
|
12,99
|
10
|
Ki oray
|
12,71
|
11
|
Ki pancar
|
13,36
|
12
|
Waru
|
13,14
|
13
|
Terep
|
24,67
|
Total
|
300,00
|
Tabel 4. Keanekaragaman Jenis
Vegetasi Hutan Pantai
No
|
Tingkat Permudaan
|
R
|
H’
|
E
|
C
|
1
|
Semai
|
1.70691
|
2.77751
|
0.94331
|
0.0696
|
2
|
Pancang
|
1.69318
|
2.53826
|
0.9618
|
0.08642
|
3
|
Efifit
|
0
|
0
|
~
|
1
|
4
|
Liana
|
1.14536
|
2.26241
|
1.02967
|
0.84499
|
5
|
Tiang
|
1.45968
|
1.45968
|
0.9732
|
0.125
|
6
|
Pohon
|
2.57845
|
2.38438
|
0.9296
|
0.11111
|
4.
Hasil Pengamatan Satwa Liar
C.
Hutan Dataran Rendah
1.
Deskripsi Kondisi Hutan
Hutan
dataran rendah yang diamati berlokasi di Sancang Timur yang termasuk dalam wilayah Cagar Alam Leuweung Sancang Timur. Hutan pantai
ini lansung berbatasan dengan hutan pantai yang dipisahkan wilayah ekosistem
ekoton. Selain itu, perbedaan antara hutan dataran rendah dan hutan pantai juga
dapat di lihat dari jenis tanah dan penutupan tajuknya.
Kondisi hutan dataran rendah di Leuweung Sancang ini masih terlihat
alami, hal ini dapat dilihat dari penutupan tajuk yang sangat rapat, adanya
pepohonan yang dominan, serta keanekaragaman yang relative tinggi.
2.
Hasil Pengamatan Tanah dan Iklim
2.a. Iklim
2.b. Tanah
3.
Hasil Pengamatan Vegetasi
Pengamatan
vegetasi di hutan dataran rendah Nusakambangan dilakukan dengan membuat lima
petak contoh. Dari hasil pengamatan didapatkan delapan jenis semai yang
tersebar di kelima petak, dan paling banyak ditemukan di petak ke lima.
Jenis-jenis semai yang ditemukan yaitu Lalar dengan nilai INP sebesar 12.22%,
Julang 48.89%, Dedekan 42.22%, Santenan 42.22%, Mindi 9.45%, Laban batu 9.45%,
Napol 23.34%, Polasan 12.22%. untuk
tingkat vegetasi tumbuhan bawah hanya ditemukan tiga jenis saja. Pada petak satu
tidak ditemukan tumbuhan bawah. Jenis tumbuhan bawah yang ditemukan yaitu
Kapulaga dengan INP sebesar 90%, Wiru 64.76%, dan Tapolaga 45.24%. sedangkan
jenis palem hanya ditemukan satu jenis sebanyak lima individu yang semuanya
ditemukan di petak ke tiga.
Pada
tingkat pancang, ditemukan lima jenis yaitu pelasan dengan INP sebesar 22.02%,
dedekan 36.31%, Tigel balung 17.26%, Keruing 85.12%, dan Dadap 39.29%. Woody
liana juga banyak ditemukan di hutan ini. Woody liana hanya ditemukan di petak
ketiga sebanyak 13 woody liana. Dari 13 woody
liana yang ditemukan hanya didapat dua jenis saja, yaitu Caw-cawan
(73.08%), dan Oyot-oyotan (126.92%).
Pada
tingkatan tianng dan pohon banyak tersebar dikelima petak, hanya saja jumlah
tiang lebih banyak dari jumlah pohon yang ditemukan, begitu juga jumlah
jenisnya. Jenis tiang didapatkan tujuh jenis yaitu Julang (52.84%), Keruing
(87.89%), Benda (30.59%), Mindi (14.88%), Dadap (59.81%), Laban batu (41.19%),
dan Wiru (12.79%). Sedangkan untuk pohon didapatkan enam jenis saja, yaitu
Dadap (118.73%), Julang (82.56%), Laban Batu (17.92%), Benda (37.69%), Santenan
(24.65%), dan Wiru (18.47%).
4.
Hasil Pengamatan Satwa Liar
Ditemukan
jenis satwa liar berupa burung tiga jenis dan seekor reptil di hutan dataran
rendah Gua Ratu, Nusakambangan. Ketiga jenis burung tersebut, yaitu Burung Madu
hutan (Nectarinia Sperata), Burung
Kareo Padi, dan Burung Cinenen Jawa (Orthotomus
sepium) diidentifikasi berdasarkan suaranya. Jenis reptil yang ditemukan
adalah kadal yang sedang berjemur. Jenis reptil ini seperti kadal kebun dengan
punggung bercorak lingkaran kecil. Kadal ini dari jenis Mobouya multifasciata yang habitatnya di hutan dengan ketinggian
kurang dari 1000 mdpl.
Gambar 10. Hutan Dataran Rendah
D.
Hutan Pegunungan Bawah
1.
Deskripsi Kondisi Hutan
Praktek
analisis vegetasi hutan pegunungan bawah dilakukan pada ketinggian sekitar 1740 mdpl dari 2622 mdpl ketinggian gunung Papandayan. Peranan dari hutan ini adalah sebagai kawasan hutan lindung sehingga
mempunyai fungsi untuk menjaga sistem tata air dan tanah, pencipta iklim mokro,
penyerap karbondioksida, tempat pariwisata, dan merupakan habitat yang baik
bagi satwa liar.
Hutan pegunungan bawah yang diamati, merupakan hutan yang sedang
melakukan suksesi alami. Hutan pegunungan bawah ini mengalami kerusakan karena
dua terakhir letusan gunung Papandayan pada tahun 1999 dan 2002. Sehingga hutan
pegunungan bawah ini sangat didominasi oleh tumbuhan bawah, sedangkan jumlah
puhon yang ada relative sedikit. Karena intensitas cahaya yang sampai di lantai
di lantai hutan cukup tinggi.
2.
Hasil Pengamatan Tanah dan Iklim
Pengukuran
suhu dan kelembaban di hutan pegunungan tengah Gunung Slamet dilakukan pada
pukul 10.15 WIB hinga pukul 10.45 WIB. Temperatur bola kering 19,06 oC
dan temperatur bola basah 17,34oC. RH sebesar 77,67%. Pengamatan
sifat tanah pada hutan ini dilakukan dengan mengambil sampel pada plot satu dan
dua. Tebal solum tanah hutan ini pada plot satu adalah 18 cm dan pada plot dua
>18 cm. Hutan ini bertekstur tanah pasir geluhan, struktur tanah remah dan
warna tanah cokelat tua. Kematangan tanah matang dan pH 5 serta KTK tanah untuk
plot satu sedang dan untuk plot dua rendah.
3.
Hasil Pengamatan Vegetasi
Pada
pegunungan bawah, tingkatan vegetasi yang ditemukan beragam. Mulai dari semai,
tumbuhan bawah, pancang, liana, palem, woody
liana, tiang serta pohon. Pada tingkat vegetasi semai yang banyak ditemukan
di petak dua, jenis yang didapatkan sebanyak sepuluh jenis. Diantara lain
Pasang dengan INP sebesar 15.76%, kesembi 15.76%, Tembagan 31.51%, Sampang
15.76%, Uru watu 15.76%, Kati layu 29.09%, Wuru semut 22.42%, Wuru Kunyit
22.42%, Ande-ande 15.76%, dan Cireup 15.76%. ada tingkat tumbuhan bawah yang
baik pada petak satu maupun dua ditemukan empat tumbuhan bawah dan dari dua
petak tersebut didapatkan tujuh jenis tumbuhan bawah. Jenis tumbuhan bawah itu
diantaranya Tahu-tahuan dengan INP sebesar 65%, Gigil 35.83%, Suruan 15.83%,
Pakis Sada 15.83%, Sumbel luwu 22.5%, Brete 15.83%, dan Selempat 29.17%.
Tingkat
pancang ditemukan sepuluh jenis yaitu Umbel-umbelan dengan INP sebesar 40.77%,
Cermai 17.69 %, Tembagan 17.69 %, Kati layu 17.69 %, Wuru semut 17.69 %, Tutub
17.69 %, Ande-ande 17.69 %, Krembi 17.69 %, Jambon 17.69 %, dan Cireup 17.69 %.
Tingkat liana yang ditemukan ada lima jenis dengan besar INP sama besar, yaitu
40%. Jenis liananya adalah Suru-suruan, Giombongan, Konyal, Pakis, dan Riwana.
Untuk tingkat palem, hanya ditemukan satu individu di petak satu. Sedangkan
pada tingkat woody liana ditemukan tiga jenis dan banyak terdapat di petak
datu, sebanyak empat individu. Jenis woody liana yang ditemukan diantaranya
Kati bajing dengan INP sebesar 45%, Sawilan 90%, dan Kendilan 65%. Untuk
tingkat tiang ditemukan empat jenis yaitu jenis Pasang dengan INP sebesar
60.21%, Jirak 138.15%, Sampang 55.03%, dan Matoa 46.61%. Pada tingkat tiang
lebih banyak ditemukan di petak satu sebanyak empat individu, sedangkan pada
petak dua hanya ditemukan dua individu saja.
Pohon
banyak ditemukan pada petak dua, yaitu sebanyak enam individu, sedangkan pada
petak satu hanya satu individu saja yaitu jenis
Klepu. Jenis pohon yang didapatkan dari kedua petak tersebut sebanyak
lima jenis. Jenis pohon tersebut antara lain Klepu dengan INP sebesar 135.18%.
jenis Klepu merupakan jenis yang paling dominan karena ditemukan di kedua
petak,. Janis pohon lainnya adalah Bancet (56.99%), Pasang (36.52%), Wuru
Bancet (35.72%), dan Wuru semut (35.6%).
4.
Hasil Pengamatan Satwa Liar
Pada
pengamatan satwa liar, banyak ditemukan jenis burung dan satu jenis amphibi
berupa seekor katak yang sedang berdiam diatas tanah. Jenis burung yang
ditemukan adalah Burung Perecit (Dicaeum trochileum), Burung Pacitan (Prinia
familiaris), Burung Cestungtung, Burung Tortor, Burung Pacer, Burung King,
Burung Kesambi, Burung Betutut (M.
corvina). Dari sekian banyak burung yang ditemukan, sebagian besar
diidentifikasi berdasarkan suaranya saja. Sulit untuk melihat secara langsung
untuk melihat aktivitas apa yang dilakukan burung tersebut saat pengamatan
berlangsung karena tertutupi oleh pepohonan. Sebagiannya lagi terlihat
bertenggger sambil bersuara walaupun tidak begitu terlihat jelas.
E.
Hutan
Pegunungan Tengah
1.
Deskripsi
Kondisi Hutan
Praktek analisis vegetasi pegunungan tengah dilakukan pada hutan alam
yang masih primer. Menurut keterangan guide hutan pegunungan tengah yang kami
amati merupakaan hasil suksesi sekunder akibat letusan gunung papandayan pada
tahun 1700-an. Sehingga keadaan vegetasinya mulai memadat dan penutupan
tajuknya mulai merapat, namun ukuran pepohonan yang terdapat di dalam ekosistem
tersebut hampir seragam, dan tidak di temukan pohon yang berdiameter di atas
100 cm.
Karena penutupan tajuk yang rapat sehingga tumbuhan bawah yang dijumpai
sedikit. Karena intensitas cahaya yang sampai di lantai hutan juga sedikit.
2. Hasil Pengamatan Tanah dan Iklim
2.a. Iklim
Gambar 11. Grafik fluktuasi
suhu pada hutan primer pegunungan tengah
Gambar 12. Grafik fluktuasi kelembaban relatif hutan
primer pegunungan tengah
2.b. Tanah
Pengamatan
sifat tanah pada hutan ini dilakukan dengan mengambil sampel pada setiap plot. Tebal solum
tanah hutan ini pada plot satu adalah 54 cm,
pada plot dua 49 cm dan pada plot tiga 62
cm. Hutan ini bertekstur tanah lempung berpasir, struktur tanah granuler-remah dan warna
tanah cokelat tua kegelapan karena
tanah pada ekosistem ini adalah tanah Andosol. Kematangan
tanah matang dan pH tanah pada
plot satu dan dua 5, sedangkan plot tiga ber-pH 4 serta KTK tanah
untuk ketigsa plot dalah sedang.
3. Hasil Pengamatan Vegetasi
Tabel 15.
INP Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah Hutan Primer Pegunungan Tengah
No
|
Nama
Jenis
|
INP
(%)
|
1
|
Huru
|
20.79
|
2
|
Ki baren
|
20.79
|
3
|
Semai a
|
29.12
|
4
|
Salam
|
20.79
|
5
|
Huru jeruk
|
37.45
|
6
|
Pakis
|
71.07
|
Total
|
200
|
Tabel 16.
INP Tingkat Pancang dan Liana Hutan Primer Pegunungan Tengah
No
|
Nama
Jenis
|
INP
(%)
|
1
|
Huru jeruk
|
53.88
|
2
|
Ki putrid
|
22.56
|
3
|
Ki segel
|
22.56
|
4
|
Huru sintok
|
55.89
|
5
|
Salam
|
22.56
|
6
|
Canar
|
22.56
|
Total
|
200
|
Tabel 17.
INP Tingkat Tiang Hutan Primer Pegunungan Tengah
No
|
Nama
Jenis
|
INP
(%)
|
1
|
Huru minyak
|
42.73
|
2
|
Huru jeruk
|
79.39
|
3
|
Jamumu
|
72.44
|
4
|
Huru sintok
|
61.8
|
5
|
Puspa
|
43.64
|
Total
|
300
|
Tabel 18.
INP Tingkat Pohon Hutan Primer Pegunungan Tengah
No
|
Nama
Jenis
|
INP
(%)
|
1
|
Huru
|
37.14
|
2
|
Ki
hujan
|
15.6
|
3
|
Puspa
|
114.62
|
4
|
Ki
sireum
|
24.35
|
5
|
Ramo
gencel
|
13.34
|
6
|
Harendong
|
31.23
|
7
|
Pasang
|
20.34
|
8
|
Huru
jeruk
|
27.18
|
9
|
Ki
putrid
|
16.21
|
Total
|
300.01
|
Tabel 19. Keanekaragaman Jenis
Vegetasi Hutan Primer Pegunungan Tengah
No
|
Tingkat Permudaan
|
R
|
H’
|
E
|
C
|
1
|
Semai dan Tumbuhan bawah
|
0.54287
|
1.63263
|
0.91119
|
0.22222
|
2
|
Pancang dan Liana
|
0.67771
|
1.53964
|
0.85929
|
0.26389
|
3
|
Tiang
|
0.70129
|
1.52294
|
0.94626
|
0.23457
|
4
|
Pohon
|
1.49837
|
1.90785
|
0.8683
|
0.1936
|
4. Hasil Satwa Liar
F.
Hutan Pegunungan Atas
F.1. Padang Rumput, Daerah Ekoton, Hutan
Pegunungan Tengah
1.
Deskripsi Kondisi Ekosistem
Praktek
analisis vegetasi hutan pegunugan atas
dilakukan pada ketinggian 2420 mdpl. Keadaan vegetasi pada ekosistem ini di dominasi oleh tumbukan bawah, dan
terdapat sedikit tumbuhan berkayu pada daerah ekoton dan hutan pegunungan atas.
Sedikitnya tumbuhan berkayu yang ditemukan di hutan pegunungan atas
disebabkan oleh faktor lingkungan yaitu ketersediaan udara yang sedikit dan
suhu yang rendah. Sehingga, tumbuhan yang mampu beradapsi dengan keadaan
lingkungan yang ekstrim tersebut sangatlah sedikit.
2.
Hasil Pengamatan Tanah dan Iklim
2.a. Iklim
1. Iklim Padang Rumput
Gambar
13. Grafik fluktuasi suhu di padang rumput pegunungan Atas
Gambar 14. Grafik fluktuasi
kelembaban Relatif di padang rumput pg. atas
2..
Iklim hutan pegunungan atas
Gambar 15. Grafik fluktuasi suhu
hutan pegunungan atas
Gambar
16. Grafik fluktuasi kelembaban kelembaban relatif hutan pegunungan atas
2.b. Tanah
Pengamatan tanah yang dilakukan padang rumput,
daerah ekoton dan hutan pegunungan atas dengan cara mengambil satu sempel di
setiap tipe ekosistem tersebut.
Pada padang rumput puncak gunung
Papandayan diperoleh hasil tanah, yaitu Andosol yang bersolum50 cm. Tanah ini
bewarna 2.5YR 3/0 (very dark grey)
dengan struktur tanah granuler dan tekstur loam (lempung). Serta memiliki pH 4
dan tingkat kematangan tanah matang.
Pengamatan tanah pada daerah ekoton
antara padang rumput dan hutan pegunungan atas, maka hasil yang diperoleh
adalah, tanah daerah Ekoton juga merupakan tanah Andosol yang tercampur dengan
abu vulkan yang berasal dari letusan gunung yang terakhir, yang memiliki warna
5YR 2.5/2 (Dark reddish brown).
Struktur tanah adalah granuler, dan tekstur tanahnya adalah sandy clay loam. Serta tanah ber-pH 6
dan tingkat kematangan tanah matang.
Sedangkan, pengamatan tanah pada
daerah hutan pegunungan atas, maka hasil yang diperoleh adalah, tanah daerah
Ekoton juga merupakan tanah Andosol yang tercampur dengan abu vulkan yang
berasal dari letusan gunung yang terakhir, yang memiliki warna 10YR 3/2 (Very dark grayish brown). Struktur tanah
adalah gumpal membulat, dan tekstur tanahnya adalah silt loam. Serta tanah ber-pH 6 dan tingkat kematangan tanah
matang.
3.
Hasil Pengamatan Vegetasi
Tabel
20. INP Tumbuhan Bawah Padang rumput
Pegunungan Atas
No
|
Nama Jenis
|
INP (%)
|
1
|
Rumput calurang
|
77,16
|
2
|
Teki
|
67,58
|
3
|
Paku rane
|
55,25
|
Total
|
200
|
Tabel
21. INP Semai Tumbuhan Bawah Daerah
Ekoton Pegunungan Atas
No
|
Nama Jenis
|
INP (%)
|
1
|
Cantigi segel
|
28,16
|
2
|
Kendung
|
34,28
|
3
|
Romogiling
|
30,21
|
4
|
Paku-pakuan hideng
|
62,86
|
5
|
Rumput teki
|
44,49
|
Total
|
200
|
Tabel
22. INP Tingkat Pancang Daerah Ekoton pegunungan atas
No
|
Nama Jenis
|
INP (%)
|
1
|
Ki Ajag
|
45
|
2
|
Kendung
|
35
|
3
|
Cantigi segel
|
85
|
4
|
Romogiling
|
35
|
Total
|
200
|
Tabel
23. INP Tingkat Semai dan Tumbuhan bawah pegunungan atas
No
|
INP (%)
|
|
1
|
Tanaman A
|
70.15
|
2
|
Jajamuan
|
28.85
|
3
|
Paku Andam
|
69.63
|
4
|
Rumput ilat
|
37.38
|
Total
|
200
|
Tabel
24. INP Pancang pegunungan atas
4.
Hasil Pengamatan Satwa Liar
Hasil
pengamatan satwa liar di pegunungan atas Gunung Papandayan ditemukan dua jenis burung, yaitu Burung Betutut (M. corvina) dan Burung Pacitan. Kedua burung tersebut
diidentifikasi berdasarkan suaranya.
F.2. Hutan Cantigi
- Deskripsi Kondisi Hutan Cantigi
Kegiatan praktek pengenalan ekosistem hutan Cantigi
dilakukan di daerah yang terletak pada ketinggian 2420 Mdpl, Gunung Papandayan. Objek yang dijadikan
sebagai bahan praktikum yaitu Cantigi
yang masih berada pada tingkat pancang. Hal ini dapat dilihat dengan diameter
cantigi yang kurang dari 10 cm dengan tinggi lebih dari 1,5 m, serta terdapat
banyak cabang pada Cantigi tersebut.
Kondisitopografi dari hutan Cantigi adalah landai dengan
kerapatan vegetasi yang cukup rapat. Cantigi pada tingkat pancang merupakan
tanaman yang mendominasi hutan cantigi dengan kondisi tegakan hutan yang masih
cukup baik.
2. Hasil pengamatan Tanah dan Iklim
3. Hasil Pengamatan Vegetasi
4. Hasil Pengamatan Satwa Liar
G.
Hutan Tanaman
G.1.
Hutan Tanaman Gerakan Nasional
Rehabilitasi Lahan Hutan
1.
Deskripsi Kondisi Hutan
Praktek
pengenalan ekosistem hutan juga di lakuakan
pada hutan tanaman yang dilakukan oleh Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan Hutan (GNRLH) di kawasan Cagar Alam
Leuweung Sancang Timur. GNRLH ini di lakukan pada lahan kritis atau rusak parah
akibat penjarahan besar-besaran oleh masyarakat sekitar pada tahun 1999.
Lahan yang rusak di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang ini
mencapai 800 Ha, dari total luas seluruh kawasan 2313,9 Ha. Kawasan yang
dikukan GNRLH ini lansung berbatasan dengan kebun karet milik BUMN PT.
Perkebunan Nuasantara VIII.
Menurut keterangan warga setempat, GNRLH telah beberapa kali
dilaksanakan, namun sering terjadi musibah kebakaran. Kebakaran terjadi karena
adanya warga sekitar yang membuang puntung rokok sembarangan pada saat musim
kemarau, sehingga tumbuhan bawah terutama jenis ilalang yang kering mudah tersulut
api. Tumbuhan GNRLH bekas kebakaran yang tertinggal sudah masuk kedalam
kategori pohon dan tiang. Untuk meningkatkan kualitas lahan, maka BKSDA resort
Sancang Timur terus melakukan penghijauan kembali.
2.
Hasil Pengamatan Tanah dan Iklim
3.
Hasil Pengamatan Vegetasi
Pada pengamatan hutan tanaman mangrove,
ditemukan tumbuhan pada tingkat semai, pancang, dan pohon. Tingkat semai hanya
ditemukan dua jenis tumbuhan, yaitu
Bakau Kacang (Rhizophora mucronata)
yang ditemukan di kuadran I dua individu dengan INP sebesar 116.67% dan Bakau
Bandul (Rhizopora apiculata) yang
ditemukan di kuadran IV satu individu dengan INP sebesar 83.33%.
Pada tingkat pancang juga ditemukan dua jenis
tumbuhan, yaitu Bakau Kacang (Rhizophora
mucronata) sebanyak 39 individu dengan INP sebesar74.07 dan Bakau Bandul
yang memiliki INP lebih besar yaitu 125.93% karena jumlahnya lebih banyak
ditemukan, yaitu sebanyak 123 individu. Begitupula pada tingkat pohon. Hanya
ditemukan dua jenis yaitu Bakau Kacang (Rhizophora
mucronata) sebanyak 13 individu dengan INP sebesar 137.98% dan Bakau Bandul
(Rhizopora apiculata) sebanyak 18
individu dengan INP sebesar 162.07%. dari 31 pohon yang berumur 30 tahun ini,
diameter pohon sekitar 10 cm hingga 16 cm dan tinggi total sekitar 10 hingga 12
meter.
Begitu sedikitnya semai yang ditemuka karena
sedikitnya keterbukaan tajuk, menyebabkan cahaya matahari sulit untuk masuk
sehingga semai sulit untuk tumbuh maupun berkembang. Selain Bakau Kacang dan
Bakau Bandul, pada hutan tanaman mangrove ini juga terdapat jenis Tingi (Bruguiera gymnorrhiza), hanya saja pada
saat pengamatan tidak ditemukan pohon Tingi tersebut.
4.
Hasil Pengamatan Satwa Liar
Banyak burung yang ditemukan di hutan tanaman mangrove ini,
dan semuanya diidentifikasi berdasarkan suaranya. Burung-burung tersebut antara
lain Burung Madu Kelapa (Anthreptes
malacensis), Burung Remetuk, Burung Cekakak Sungai, Burung Layang-layang,
Burung Raja Udang Kecil, Burung Tekukur, Burung Kipasan, dan Burung Walet (Allocalia spp,Hirundapus spp, Apus spp).
Gambar 12. Hutan
tanaman mangrove
G.2. Hutan Tanaman Pinus
merkusii
1.
Deskripsi Kondisi Hutan
Hutan
tanaman pinus
yang menjadi tempat praktek adalah Huta Tanaman Pinus merkusii yang terdapat di ketinggian
1740 mdpl gunung Papandayan. Hutan tanaman Pinus
merkusii ini merupakan hutan tanaman milik PT. Perhutani. Pada lahan hutan tanaman ini, masyarakat
setempat menerapkan Agroforestry. Pada
umumnya masyarakat sekitar menanam sayur-sayuran di bawah tegakan pinus
tersebut.
Pada hutan tanaman yang didominasi jenis pinus ini juga di temukan jenis
alpukat, kayu putih. Tegakan hutan tanaman pinus ini masih berukuran tiang
(diameter 10cm- 20cm), namun ada beberapa telah berukuran pohon (diameter ≥20 cm). kondisi hutan tanaman pinus
ini cukup memprihatinkan, karena paada umumnya tegakan pinus tersebut rusak dan
tidak terawat. Menurut penjelasan Bapak Wahyudin (guide kelompok 3-3B)
kerusakan hutan tanaman pinus ini disengaja oleh masyarakat sekitar, demi
mendapatkan naungan matahari yang cukup bagi tanaman sayurannya.
2.
Hasil Pengamatan Tanah dan Iklim
Temperatur
di hutan tanaman Agathis diukur pada pukul 09.50 WIB hingga pukul 10.20 WIB.
Data yang didapat dari pengamatan suhu dan kelembaban hutan tanaman Agathis
yaitu temperatur bola kering 20.72oC dan temperatur bola basah 18.61oC.
Presentase RH sebesar 68%. Terdapat dua horozon pada hutan tanaman Agathis.
Horizon A tebal 18 cm, struktur tanah remah, warna tanah 10 YR, 3/3 dark brown, kematangan tanah matang, pH
sebesar 6, dan KTK tanah sedang. Sedangkan horizon B tebal 63 cm, struktur
tanah remah, warna tanah 54 YR, 4/4 reddish
brown, kematangan tanah matang, pH sebesar 5, dan KTK tanah sedang.
3.
Hasil Pengamatan Vegetasi
Berdasarkan
hasil pengamatan pada luas petak 0.1 Ha dengan jari-jari 17.84 m, ditemukan enam
jenis semai pada hutan tanaman agathis ini. Dari enam jenis semai yang
ditemukan, Agathis loranthifolia
memiliki INP paling tinggi yaitu 117.32%, sedangkan Huru Bancet 27.55%, Cireup12.21%,
Wewe dan Kopen 15.34%, dan Naga sari 12.21%.
Selain
semai, juga banyak ditemukan tumbuhan bawah sebanyak delapan belas jenis.
Diantaranya Pelasan dengan INP 14.93%, Pakis Galar 12.04%, Pakis kejo 25.88%,
Selempat 20.3%, Tanganan 2.89%, Gembiritan 3.56%, Kepompongan 3.56%, Pakis
kantong 2.89%, Pakis sada 31.04%, Pakis tangan 10.7%, Wilada 2.89%, Suplir
kipas 22.78%, Krisan 2.89%, Tembilungan 9.35%, Paku-pakuan 2.89%, Nyangku kebo
2.89%, Pacing 7.12%, dan Tahu-tahuan 3.56%. Pada hutan tanaman agathis ini
tidak ditemukan pancang maupun tiang. Dari petak pengamatan yang telah dibuat,
diperoleh 33 pohon Agathis loranthifolia.
Dominansi yang didapat adalah 440.399,4 m2/Ha dengan tinggi total
berkisar antara 21 hingga 36 meter dan diameter pohon berkisar antara 20 hingga
36 cm.
4.
Hasil Pengamatan Satwa Liar
Ditemukan
dua jenis satwa liar, yaitu burung dan katak. Pada jenis katak, ditemukan saat
melompat di atas tanah (serasah). Sedangkan ada dua jenis burung yang
ditemukan, yaitu Burung Betutut (M.
corvina) yang diidentifikasi berdasarkan suaranya dan Elang Jawa yang
sedang terbang.
BAB IV
PEMBAHASAN KETERKAITAN KOMPONEN EKOSISTEM
ANTAR TIPE EKOSISTEM
HUTAN
Kondisi
setiap tipe hutan dipengaruhi oleh beberapa faktor penentu, misalnya
sifat-sifat tanah, iklim, kondisi vegetasi, kondisi satwa liar, profil hutan,
dan interaksi antara komponen abiotik dan biotik. Hal inilah yang menyebabkan
komponen fisik masing-masinghutan berbeda.
Tanah meerupakan faktor edafis yang
penting bagi pertumbuhan perakaran pohon dan perkembangannya. Kesuburan tanah
ditentukan oleh sifat kimia, fisika, dan biologis tanah. (setiadi, et al.1992).
kemampuan tanah memasok udara dan air terutama dikendalikan oleh faktor fisik,
yaitu tekstur tanah, struktur tanahh, konsistensi, bulk density permeabilitas,
aerasi dan susunan horizon. Sedangkan kemampuan memasok unsur hara dikendalikan
oleh sifat kimia tanah seperti kandungan hara, pH tanah, kapasitas tukar kation
(KTK), kejenuhan Bara, bahan organik, dan fraksi liat serta sifat biologis tanah.
Sifat kimia, fisika dan mineralogi partikel tanah tergantung pada ukuran
partikelnya. Struktur tanah pada masing-masing hutan pegunungan hampir sama.
Struktur tanah Merupakan gumpalan tanah yang berasal dari partikel-partikel tanah
yang saling merekat satu sama lain karena adanya perekat misalnya eksudat akar,
hifa jamur, lempung, humus, dll. Sedangkan KTK pada tiap tipe ekosistem bervariasi dari sedang
sampai tinggi. Kematangan tanah pada tiap ekosistem hutan pegunungan tergolong
matang yang hal ini dapat dibuktikan dari tanahnya yang mampu menahan beban
diatasnya.
Selain itu tanah juga dipengaruhi
oleh masyarakat tumbuhan hutan atau bukan hutan yang ada pada masa lampau atau
saat ini di kawasan hutan yang merupakan hasil proses yang sangat rumit antara
bahan induk tanah dengan komponen lingkungannya (Purwowidodo, 1998).
Pada hutan pegunungan pH berkisar
antara 5-6. Hal ini memperlihatkan unsur hara tanah dapat diserap dengan baik
di hutan pegunungan. Jika dikaitkan dengan KTK yang erat hubungannya dengan
kesuburan tanah serta penyerapan hara, hutan pegunungan dan hutan tanaman
pegunungan tengah memiliki KTK sedang. Sedangkan pada hutan primer pegunungan
tengah unsur hara yang terkandung di dalam tanahnya tinggi, hal ini ditunjukan
dari pengujian KTK yang lebih dari satu hari.
Berkaitan
dengan tekstur tanah, makin halus tekstur, maka KTK semakin tinggi. Selain itu
tekstur tanah juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Semakin tinggi
tempatnya, kelekatan, keplastisan, serta kegemburan tanah semakin tinggi. Karena
hutan pegunungan dan hutan tanaman Agathis berada di ketinggian yang lebih
tinggi dari hutan pantai, hutan mangrove dan hutan dataran rendah kesuburan
hutan pegunungan dan hutan tanaan tersebut lebih tinggi. Selain itu struktur
tanah pegunungan yang berupa remah mengatakan struktur tanah yang baik.
Suhu
semakin menurun seiring dengan pertambahan ketinggian tempat. Semakin tinggi
ketinggian tempat, tekanan udara semakin meningkat, serta menurunnya gas-gas
yang memiliki berat molekul yang besar, termasuk karbondioksida yang diperlukan
tumbuhan untuk berfotosintesis. Walaupun ketingian bertambah, dan lebih dekat
ke matahari, tetapi cahaya matahari sulit untuk masuk dan mengenai vegetasi
hutan di tempat yang tinggi tersebut karena adanya kabut yang menjadi
penghalang sinar matahari masuk. Karena adanya kabut tersebut juga membuat
energi panas menurun, sehingga pantulannya rendah dan menyebabkan suhu juga
semakina menurun. Karena sulit untuk melakukan fotosintesis, variasi serta
bentuk vegetasi mengecil seiring dengan pertambahan ketinggian suatu tempat.
Jenis
satwa liar pada setiap tipe hutan baik dari variasi maupun bentuk morfologi
tubuhnya disesuaikan dengan keadaan iklim serta habitat atau tempat hidupnya.
Dari ketujuh tipe hutan tidak ditemukan jenis mamalia seperti babi hutan,
musang dan lain sebagainya, lebih banyak ditemukan satwa jenis burung dan
reptil. Mamalia sulit untuk ditemukan karena sifatnya yang menyesuaikan diri
dengan habitat dan ketersediaan makanandari lingkungannya. Bisa dilihat dari
kondisi hutan sekarang banyak yang telah rusak sehingga satwa liar tersebut
tidak memiliki tempat lagi dan keberadaannya sudah mulai berkurang, contohnya
saja harimau. Jenis burung mudah untuk beradaptasi karena makanannya lebih
mudah didapat dari pada makanan hewan mamalia.
Profil
hutan merupakan gambaran hutan dengan wilayah tertentu yang dapat mewakili
keadaan vegetasi., kondisi hutan, serta luas tajuk yang berpengaruh pada siklis
hidrologi. Semakin rapat tajuknya menunjukkan curahan tajuk yang semakin tinggi
pula. Menurut Soerianegara dan Indrawan (2005), didalam hutan hujan tropika ada
lima lapisan atau stratum tajuk, yaitu lapisan A,B,C,D, dan E. Lapisan A,B,dan
C merupakan lapisan tajuk dan tingkat pohon. Lapisan D merupakan lapisan
tingkat perdu dan semak. Sedangkan lapisan E merupakan mapisan tumbuh-tumbuhan
penutup tanah. Bata strata tersebut berbeda-beda tergantung dari komposisi
hutan. Tapi, tidak semua hutan memiliki strata yang lengkap seperti itu.
Contohnya saja hutan mangrove yang hanya memiliki satu strata. Untuk siklus
hidrologi hutan yang transpirasinya paling tinggi adalah hutan mangrove karena
suhu yang tinggi, kelembaban rendah dan radiasi sinar matahari tinggi tidak ada
penghalang seperti tajuk, selain itu juga hutan mangrove selalu tergenang oleh
air.
V KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
ketujuh tipe ekosistem hutan yang telah diamati dalam PPEH, ketujuh tipe hutan
tersebut memiliki karakteristik tersendiri dalam mencirikan tipe dan komponen
ekosistemnya. Dari pengenalan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin
tinggi suatu tempat, suhu semakin rendah, tekanan udara semakin turun, tetapi
kesuburan tanah semakin tinggi. Berkurangnya jenis serta ukuran vegetasi dan
hewan seiringnya pertambahan tinggi suatu tempat karena sulit masuknya cahaya
matahari karena terhalang oleh kabut. Hal ini menyebabkan tumbuha sulit unuk
melakukan fotosintesis sehingga pertumbuhannya terganggu. Begitu juga dengan
satwa liar, karena berkurangnya vegetasi, satwa liar tersebut sulit untuk
mendapatkan makanan.
B.
Saran
Untuk mendapatkan hasil yang akurat dan cepat, sebaiknya dipersiapkan
peralatan yang memadai, baik dari jumlah, kondisi peralatan, maupun tingkat
teknologinya.
DAFTAR PUSTAKA
Istomo dkk. 2008.
Panduan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan. Bogor :
Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan
IPB.
Soepardi, Goesnowo.
1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor.
Soerianegara, I. dan
Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Langganan:
Postingan (Atom)